Pemahaman Visual Pendaki Milenial

Pemahaman Visual Pendaki Milenial.

Milenial menurut para ahli ialah generasi yang lahir dari pertengahan tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Penggolongan ini disebabkan peningkatan jumlah kelahiran yang signifikan sehingga peristiwa ini disebut “echo boomers”. – seitidaknya ini yang diyakini di dunia. Bagaimana dengan dunia pendakian khususnya di negara tercinta kita, Indonesia. Negara dengan julukan “Ring of Fire” rasanya sudah tak asing lagi dengan pendakian. Pendakian bagi negeri ini nampaknya bukan lagi disebut olahraga, melainkan sudah menjadi suatu kebiasaan turun temurun. Statement ini bukan tanpa dasar, rasanya tak perlu penulis mencari beberapa kegiatan adat yang dilakukan di gunung. Penulis yakin budaya yang berkaitan dengan gunung mudah ditemui di sekitar kalian.

Pendaki milenial. Menurut penulis, generasi ini lahir setelah launching film layar lebar yang berkisah persahabatan di gunung semeru. Penulis memulai pendakian pertama 2 tahun setelah launchingnya film ini. Mengapa penulis memberitahu ini, sebab penulis tak ingin kalian pembaca akan men-stereotype bahwa tulisan ini ditulis oleh pendaki lawas.Tulisan ini murni ditulis atas keresahan penulis berada pada generasi ini, tidak bermaksud menggurui, namun ini merupakan tulisan protes dari generasi ini ke generasi ini.

“Bimbinglah kami sehingga menjadi pendaki senior seperti kalian” saya menemukan komentar ini di sebuah postingan instagram yang berisi tentang pendapat pendaki sarat pengalaman terhadap newbie. Sehenyak saya berfikir, bukankah di hadapan alam kita sama, apa yang membuat kita berbeda dengan generasi kita dengan generasi di atas kita, mengapa kita dianggap sebagai pendaki yang tak tahu apa apa.

Tahun 2015,2016, 2017 jumlah kecelakaan pendakian berjumlah 15 kasus, meningkat ditahun 2018 berjumlah 23 kasus. Masih teringat di ingatan kita tentang hilangnya alvi – semoga lekas ditemukan- di gunung lawu setahun silam. Namun kita juga tentunya ingat tentang supriyadi yang mampu survival dalam 5 harinya tersesat di gunung semeru. Kedua individu ini berbeda generasi, rasanya penulis tak perlu memberitahu darimana generasi kedua pendaki ini. Melihat data diatas, penulis tidak dapat membantah, ya pendaki milenial memang tidak tahu apa apa.

Rerata pendaki lawas yang saya temui bukanlah pendaki yang melanglang buana, dalam artian mungkin ia hanya mendaki satu hingga tiga gunung namun dengan frekuensi sering. Dalam artian ia paham akan medan yang akan ia temui dan selalu terbiasa dengan kondisi gunung. Bagaimana dengan milenial ? generasi ini cenderung mementingkan goals- bahasa gaul untuk generasi ini- berupa puncak puncak gunung yang berbeda. Generasi ini tak puas hanya dengan 1 jenis puncak tidak seperti pendahulunya, tidak lain dan tidak bukan karena eksistensi. Keren bukan disebut anak gunung ? mengaku saja.

Penulis tidak menyalahkan pandangan milenial, toh tetap positif jika di usia muda mampu membuat perjalanan jauh yang berulang sehingga paham akan budaya atau mungkin permasalahan setiap daerah yang dikunjungi meski tidak didalami secara intens – setidaknya ini yang diharapkan penulis – bukan hanya berlandaskan eksistensi atau merpempanjang titik instastory. Tapi apakah perjalanan jauh generasi ini dapat disamakan dengan generasi pendahulunya. Akui saja kegiatan pendakian di generasi ini sudah cenderung dipermudah. Ojek hingga pos 1 rasanya lumrah di generasi ini.

Literasi. Rentetan kata kata rasanya kalah menarik dengan postingan matahari terbit di puncak para dewa. Meski pendaki generasi ini senantiasa memposting kegiatan pendakiannya dengan kata kata puitis tapi apakah ini menunjukkan budaya membaca mereka. Penulis rasa tidak, melihat data kasus diatas rasanya hanya dianggap angin lalu tak menjadi cambuk untuk memperkaya pemahaman mengenai kegiatan ini. Mungkin saja ini sudah tidak dapat bisa diubah, sayang sekali negara kita menjadi negara malas membaca termasuk pendaki milenial kebanyakan.

Videography. Mungkin jalur literasi tak mampu untuk mengedukasi generasi ini. Ah rasanya edukasi dalam bentuk postingan video atau foto tentunya akan menarik minat pendaki milenial terhadap pemahaman pendakian. Yap betul sekali pendaki generasi ini tertarik terhadap konten seperti ini tapi sejauh pengamtan saya, koreksi bila salah, konten berupa kejadian mistis atau pun catatan perjalanan lah yang lebih banyak viewers ketimbang channel dengan konten survival.  Penulis tarik contoh channel youtube baaaarkah maupun the woodstock gear. Kedua channel ini menampilkan konten yang bisa dibilang mendekati survival namun tetap kalah dengan kanal kanal yang mengulas catatan perjalanan terlebih jika konten kreatornya ialah wanita cantik. “loh yang menggunakan youtube kan bukan milenial saja” ya memang youtube digunakan oleh semua kalangan usia, tapi kita tak bisa membantah bahwa pengguna smartphone di indonesia terutama kalangan muda, so siapa yang lebih mudah mengakses youtube ?

Contoh lain bisa kita tarik, jumlah like di official account instagran PNDKID berbanding terbalik dengan jumlah like tulisan di portal resmi PNDKID. Ya kembali lagi penggunaan smartphone bergantung kepada seberapa smart penggunanya. Padahal apabila ditelisik lagi, pendaki milenial rasanya tak perlu susah payah mendaftar di grup pencinta alam untuk mendapat segala informasi tentang mountenering. Cukup melalui gawai di tangan dan perbanyak latihan. Kita tentunya ingin bukan tahun ini jumlah kasus kecelakaan di gunung menurun tidak seperti 3 tahun ke belakang ?

Melalui tulisan ini, besar harapan penulis bagi generasi ini untuk memperkaya edukasi mengenai berkegiatan di alam bebas. Kita masih dalam usia produktif serta penuh dengan semangat untuk selalu melangkahkan kaki di puncak puncak negeri kita ini. Kalian memiliki pengaruh dalam posting-an posting-an yang kalian upload. Tetap keren koq apabila kalian mem-publish teknik bow drill, tak kalah keren dengan video video summit attack yang biasa kalian upload. Atau mungkin bisa diawali dengan posting-an sederhana berupa simpul simpul tali yang digunakan pada flysheet tidak hanya mengandalkan tali rafia. Lebih mudah bukan apabila informasi ini muncul di timeline ketimbang harus mengetiknya di bar pencarian ?

Jika tak tahu cara membuatnya bisa kita baca melalui portal portal survival atau pendakian. Malas membaca ? tak apa tonton video video youtube yang menyinggung hal ini, memang kebanyakan berbahasa asing, tapi penulis rasa pendaki milenial tak akan sulit umtuk memahaminya, terlebih ada fitur terjemahkan otomatis di youtube. Yuk kita ubah stereotype terhadap generasi pendaki milenial yang lebih mengutamakan tampilan visual tapi kosong akan pemahaman survival.

Generasi sebelum kita mendapat pemahaman mountenering melalui literasi dan praktik terus menerus. Metode seperti tentunya sudah tak relevan bila diaplikasn di generasi ini. Kita mampu berubah menjadi pendaki yang lebih berwawasan dengan cara kita sendiri. Kita memang bukan pendaki dengan slayer di leher, tapi apakah dengan style buff masker di kepala menghalangi kemampuan kita dalam pendakian. Penulis rasa, generasi kita sudah cukup untuk merepotkan pendaki terdahulu kita untuk senantiasa siaga bolak balik mencari serta menggendong pendaki milenial yang tersesat ataupun sakit.

“Bimbinglah kami”. Penulis tidak sepenuhnya setuju memang dengan pendapat ini, kita pendaki milenial mampu memperkaya pemahaman kita mengenai pendakian dengan mandiri asal kita mau. Sempatkanlah setelah pendakian mengobrol dengan para ranger jangan sibuk memilih foto untuk segera di upload di sosial media. Dengarkan keluh kesal – ya kesal terhadap generasi kita- mereka sehingga kita bisa menangkap petuah petuah untuk di aplikasikan di pendakian selanjutnya. Kalau perlu buatkan kopi dan ajak foto bersama setelah mengobrol. Buat apa sudah jauh jauh menggapai puncak tapi tidak menjalin hubungan dengan orang orang yang dibawah ? sayang sekali untuk dilewatkan momen momen perjalanan jauh jika hanya untuk swafoto. Akhir kata, Semangat ! kita bisa berubah.

Tinggalkan komentar