Depok – Dieng, Berdua di atas Roda Dua.
Sekitar bulan september 2018, saya dan hendra teman saya sepakat menstarter motor untuk melakukan perjalanan ke dieng. Motor kami berplat B, sementara dieng berplat AA. Kami sepakat untuk melintasi 359 Km perjalanan untuk menuju Gunung Prau. Sepakat, setidaknya inilah yang kamu harus satukan dalam setiap perjalanan kamu. Jika perjalanan grup memiliki ketua untuk mengambil segala keputusan, namun hal itu tidak berlaku jika hanya berdua. Ya berdua.

Perjalanan ini hanya representasi dari basa basi obrolan warung kopi kala mentari mulai mencapai titik tengah. Kami akhirnya sepakat untuk memulai perjalanan pukul 3 sore. Kala itu kami hanya mempunyai uang total Rp. 700.000. Tanpa pikir panjang kami memulai perjalanan diawali menuju arah cikarang. Tepat adzan magrib kami sampai di bibir pantura. Tempat yang sesuai jika ingin putar balik karena belum terlalu jauh, namun sayangnya kami tidak mengambil keputusan itu sehingga tulisan ini masih bisa dilanjutkan.
Selepas magrib kami memacu motor melewati pantura, diawali dari kota batang dimana kami harus beradu pacu dengan truk truk besar berikut muatan yang dibawa. Jika saya terbiasa melihat truk berjalan lambat disekitar rumah, namun kali ini truk truk seraya beradu balap menyintas malam. Entah apa yang dituju, entah apa yang dicari. Kadang pahit jika nyatanya kita hidup sekedar untuk gaji. Semangat.
Kami bermodalkan maps yang terinstal di gawai. Kota demi kota kami lalui, Karawang, Cikampek, Indaramayu hingga sampai di kota telur asin, Brebes. Setengah perjalanan kami menyadarkan saya bahwasannya petualangan tidak hanya bisa dilakukan oleh yang bertubuh kuat serta berdompet tebal. Satu yang sering terlupa, dalam setiap perjalanan kita harus sering bersabar, duduk berjam berjam di kendaraan umum, apalagi duduk diatas jok tipis roda dua. Teman perjalanan masih sama truk truk serta bus bus dengan kecepatan yang bikin geleng kepala.
Singkat cerita kami berhenti di kota brebes untuk mengisi bensin dan mengisi perut. Ya seperti inilah repotnya jika bertualang membawa lambung, saya bergurau dengan hendra andai sistem pencernaan bisa ditanggalkan dalam sebuah perjalanan, sudah berapa rupiah yang bisa kita hemat. Haha. Pecel Ayam pinggir aspal menjadi destinasi kuliner kami. Ya memangnya ada apalagi jam 12 malam di jalur pantura. Rasa rasanya, makanan enak tidak hanya dipengaruhi dari penyajian maupun after taste sebuah hidangan. Kondisi lambung ikut andil dalam menentukan rasa, bukan hanya lidah. Haha.
Tepat 45 Menit kami menepi, entah sudah berapa batang gudang garam kami bakar. Mata mulai dihinggapi rasa kantuk dan saya mulai menyesali saya lahir sebagai makhluk vertebrata. Jika di gawai ponsel ada scanner skeleton mungkin tulang belakang kami sudah bertransformasi menjadi tralis atau entah apalah. Saya mampu meminggul keril berjam jam dalam pendakian, namun rasanya tidak untuk untuk mengulang kembali momen di bonceng di motor berjam jam lamanya.
Kami mengupdate maps di gawai ponsel, dan untuk meneruskan perjalanan, kami harus melalui daerah Batang. Disini kami sadar, kami seharusnya melalui jalur selatan, bukan utara. Tapi yasudahlah karena memang kita berdua ini bodoh jadi kami maklum dan hanya saling menyalahkan dan tertawa. Ya semudah itu untuk tertawa memang. Motor kami pacu di kecepatan sekitar 90 km/jam, melewati beberapa kota sebelum menuju batang diantaranya ialah kota Tegal.
Entah kita bodoh atau apa, mungkin kantuk dan pegal membuat kami ingin buru buru sampai. Pengusir kantuk pun datang, tak tanggung tanggung sebuah motor Scorpio lengkap dengan pengendara berbaju coklat. Ya Bapak Polisi. Aduh, memang kita berdua ini bodoh, karena terburu terburu entah berapa lampu merah kami lewati tanpa memperhatikan warna lampunya, maklum sepi. Alhasil kami digiring menuju pos polisi terdekat. Alhamdulillah rasa kantuk hilang.
Linguistik. Saya sangat bersyukur kami mampu berbahasa jawa dengan fasih, sehingga pak polisi seraya bertemu kerabat jauh. Pak Polisi yang melihat plat motor kami beserta keril di tangkinya rasanya membuat dia iba. Tilang kali ini yang terbaik sepanjang hidup saya. Pak polisi yang melihat keril kami serasa nostalgia dengan petualangannya dulu, mengobrol lah kami tentang ceritanya mendaki puncak tertinggi jawa tengah. Secangkir kopi beliau sediakan, sebuah obrolan hangat dari pelanggar hukum dan penindak hukum. Epic.
Tepat jam 1 dinihari kami melanjutkan perjalanan, seraya pak polisi berpesan, “Alon alon wae le, gununge mboten nyandi ndi”, yang jika diartikan ialah pelan pelan saja, gunungnya ga kemana mana. Kami hanya melempar salam dan senyum dari atas motor. Dari pos polisi tersebut barulah kami kembali menjadi pengemudi yang taat aturan. haha. Sampailah kami di kota batang, jika melihat maps perjalanan memang sebentar lagi, namun medan yang dilalui ialah jalanan membelah bukit. Rasanya kami enggan melanjutkan jika trek perjalanan seperti itu dan kami memutuskan untuk mencari pom bensin untuk sejenak meluruskan badan serta tertidur.
“Tangi le”. Suara dari security Pom membangunkanku, kulihat jam tangan tepat pukul jam 6 pagi. Saya lantas bergegas ambil wudhu untuk shalat subuh. Iya tau, sudah telat. Selepas shalat jamaah dengan hendra kami berlanjut untuk mencari warung kopi terdekat untuk sekedar sarapan dan tentunya gudang garam time. Di titik ini kami me-review perjalanan, tertawa dan bercanda masih tak percaya celetukan obrolan pagi hari kemarin benar benar dilakukan.
Kami pacu motor menuju jalan berbukit, dan benar saja trek yang kami temui seperti trek di gunung bunder di daerah TNGHS di Bogor. Bedanya jalan ini lebih panjang dan menanjak. Saya bergumam dalam hati nampaknya perjalanan akan semakin seru. Sisi aspalnya yang tadinya atap atap rumah berubah menjadi pepohonan menjulang tinggi lengkap dengan daun paku pakuan berukuran besar di kanan dan kirinya. Jumanji dengan kearifan lokal candaku diatas motor yang langsung disambut tawa oleh hendra. Mesranya. Loh.
1 jam kami melewati area hutan, sampailah kami di punggung bukit. Jam 8 Pagi dan mentari tepat sekali mulai muncul dari balik bukit. Perlahan menyinari berbagai ladang warga seperti memberi nutrisi kepada daun daun melalui fotosintesis. Negeri dongeng spontan saya berbicara saat itu. Kami berhenti sebentar untuk berfoto di jalan tanpa nama tersebut. Semesta nampaknya memberi kami penyemangat di perjalanan yang melelahkan ini. Speechless.

Setelah melewati punggungan bukit yang panjang lalu tersambung menuju dataran dieng yang kami tuju. Tulisan “DIENG” dengan ukuran besar menyambut kami. Tapi kami tak berhenti untuk berfoto namun tetap lanjut untuk menuju Gunung Prau. Singkat cerita namun panjang perjalanan sampailah kami di Basecamp Kalilembu. Kami tidak naik melalui patak banteng karena kami rasa pasti akan penuh pendaki.
Tepat Pukul 10 Pagi kami sampai. Hendra mulai memakirkan motornya diantara motor berplat AA. Baru turun sejenak kami langsung disambut beberapa pendaki Tangerang. “Goblog” itulah sapaan pertama pagi itu. Haha. Kami langsung mengurus simaksi dan mengobrol dengan pendaki yang menyapa kami tadi. Ketika mereka berangkat, kami memilih tidur dan sepakat untuk memulai pendakian pukul 2 siang.
Kami terbangun, lalu mempacking ulang keril dan bergegas melakukan pendakian. Pendakian tersantai yang saya rasakan, melalui jalur ini dibutuhkan 4 jam untuk menuju puncak, dengan catatan sangat sangat santai sekali. Diawal perndakian kami di sambut dengan ladang terasering warga. Ladang yang dibentuk dengan berundak undak karena lapak yang digunakan adalah bukit bukan tanah lapang yang biasa kita temui. Ladang Bawang berubah menjadi ladang kentang, lalu berubah menjadi kebun buah pepaya kala kami masuk ke area hutan.
Treknya cukup santai, tidak banyak tanjakan ekstrem dan sangat menghibur menurut saya. Selepas area hutan kami sampai di trek pinggir bukit menyajikan pemandangan lereng gunung lengkap dengan punggungan bukit. Hah. Seandainya gunung seperti ini ada di dekat rumah saya, rasanya tiap minggu saya pasti kesini pikirku saat itu. Trek yang tadinya berada di pinggir bukit mulai melipir menuju atas bukit, jalan setapak dengan lebar sekitar 3 meter. Dari sini mulai terlihat area camp, jika tidak tertutup kabut.

Sekitar 90 menit menapaki punggungan bukit sampailah kami di bibir savana, jika melalui patak banteng akan langsung sampai di area camp dengan view sindoro-sumbing. Tapi jika melalui kali lembu kamu harus menyusuri savana yang cukup panjang. Apakah ini buruk ? tentu tidak, jalur ini saya rekomendasikan untuk kamu yang ingin ke Prau. Relatif sepi dengan vegetasi yang masih rapat lalu disambut dengan savana sepanjang mata memandang. Asik bukan?
Kami berjalan santai, kadang berlari bak anak kecil kegirangan. Disini ada jalur setapak yang landai, namun kami malah memilih menapaki undakan undakan bukit, naik dan turun. Tersengal saat naik, berlari saat turun. Kami hanya berdua saat melintas savana ini. Perjalanan ditemani canda tawa, lomba lari dan berbagai hal kekanakan lainnya. Pada saat itu kami sama sama sudah berumur kepala 2 padahal. Ya sudahlah, kelakuan bodoh memang tak ada penyembuhnya.
Area camp mulai terlihat, bergegas lah saya menuju area tersebut. Langsung mendirikan tenda dan hendra hanya duduk manis. Ya kami sepakat, jika di motor hendra akan melayani saya, jika di gunung saya melayani hendra. Rasa rasanya saya kesal juga dibuatnya karena bertingkah bak mandor. Haha. Tenda sudah berdiri kokoh dan kompor mulai disetel. Secangkir kopi dan gudang garam dalam kemasan kaleng menemani kami menghabiskan senja. Pemandangan sindoro – sumbing didepan mata serta lantunan lagu dari gawai makin memantapkan suasana. Tak pernah terfikir, hanya untuk suasana seperti ini, kami berdua rela melakukan perjalanan kemarin. Lelah terbayar tuntas, rasa penat terbalas. Terima Kasih atas perjalanan yang tak terlupakan, mungkin akan menjadi salah satu hal terbodoh yang saya lakukan. Bodoh sekaligus Epic. -NutriNesting
